Perang Bali Hubungan Bali dan Belanda berawal dari banyaknya kapal dagang Belanda terdampar di salah satu pantai kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh raja. Walaupun Belanda berulangkali mengajukan proters dan mengadakan perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda, namun raja-raja di Bali tidak mengindahkan, karena hal tersebut merupakan hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Bali di daerah pantai yang dinamakan hukum tawan karang sekitar tahun 1841 di pantai wilayah Badung. Belanda juga melakukan perdagangan (terutama perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali. Poesponegoro (2010) menyebutkan pada tahun 1843 raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa raja lainnya telah menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang, ternyata mereka tidak pernah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh (Johan 2014).
Ilustrai perang yang terjadi di Bali |
Pada tahun 1846, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng dan berkobarlah perang Kerajaan Buleleng yang dibantu oleh Karangasem melawan Belanda. Sebetulnya penyerangan yang pertama sudah dilakukan oleh Belanda pada tahun 1836 tetapi gagal dan dilakukalah perundingan sebagai taktik untuk menyerbu kembali. Bali di bawah kepemimpinan Gusti Jelantik membangun benteng di Jagakarsa untuk menghalau serangan Belanda. Tahun 1849 Belanda kembali menyerang Benteng Jagakarsa, karena kalah dalam persenjataan, maka pasukan Bali mundur dan benteng dikuasai oleh Belanda. Perlawanan Gusti Jelantik baru mengendor pada akhir abad ke 19 setelah sebagian kerajaan Bali dikuasai oleh Belanda.
Tahun 1904 kembali pecah perang Bali-Belanda setelah rakyat di kerajaan Badung merampas kapal dagang Cina yang terdampar34, Belanda berhasil merebut ibukota Denpasar. Akibatnya raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan habis-habisan dengan diikuti sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan keris keramat. Mereka memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kepada Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar