1. Perang Tondano
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan
orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada
permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari
implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya
diMinahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara“
diMinahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara“
(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)
A. Perang Tondano I
Perang Tondano |
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal
dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC.
Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di
tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping
berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam
penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius.
Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi
mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan
kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan
pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan
kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh
Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh
untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga
Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi
waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju
Filipina. VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual
berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk
melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang
Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi
VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-
orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran
sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang
Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya
di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC kemudian
mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau
Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara
lain: (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak
kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan
menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena
genangan air Sungai Temberan. Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan
ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya
tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah
itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang
menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian
mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian
terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-
orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di Danau
Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua
(ibu negeri).
B. Perang Tondano II
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada
masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh
kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat
untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk
menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.
Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian
berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-
orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten
Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.
(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat
distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah
2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa
umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-
pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung
mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan
terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya
di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah
Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial
Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000
pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa
agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur
Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-
orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan
strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk
dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari
Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat.
Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda
yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak
pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan
Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di
Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat
yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah.
Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober
1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan
Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu
seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan
serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul
dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari
pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan
itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit
pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam
ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan
yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang
Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling
besar tenggelam di danau.
Danu Tondano, Usai pemusnahan hunian di atas air |
Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809.
Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok
pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang
ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada
tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang
hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu
memilih mati dari pada menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar