Breaking News

Sabtu, 23 Januari 2016

Perang Tondano I & II

1. Perang Tondano

“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan 
orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada 
permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari 
implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya 
diMinahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara“ 
(Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)


A. Perang Tondano I
Perang Tondano

Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal 

dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. 
Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di 
tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping 
berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam 
penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. 
Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi 
mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan 
kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan 
pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan 
kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh 
Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh 
untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga 
Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi 
waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju 
Filipina. VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual 
berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk 
melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang 
Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi 
VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-
orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran 
sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang 
Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya 
di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC kemudian 
mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau 
Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara 
lain: (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak 
kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan 
menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena 
genangan air Sungai Temberan. Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan 
ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya 
tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah 
itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang 
menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian 
mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian 
terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-
orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di Danau 
Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua 
(ibu negeri).


B. Perang Tondano II

Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada 
masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh 
kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat 
untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk 
menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. 
Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian 
berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-
orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten 
Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.
(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat 
distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 
2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa 
umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-
pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung
mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan 
terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya 
di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah 
Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial 
Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 
pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa 
agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur 
Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-
orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan 
strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk 
dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari 
Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. 
Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda 
yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak 
pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan 
Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di 
Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat 
yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. 
Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 
1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan 
Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu 
seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan 
serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul 
dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari 
pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan 
itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit 
pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam 
ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan 
yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang 
Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling 
besar tenggelam di danau.


Danu Tondano, Usai pemusnahan hunian di atas air

Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. 
Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok 
pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang 
ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada 
tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang 
hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu 
memilih mati dari pada menyerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Adhiyaksa