Perang Tapanuli ( 1878 – 1907 ).
Peta pulau sumatera
Pada tahun 1878 Belanda mulai dengan gerakan
militernya menyerang daerah Tapanuli,sehingga meletus perang Tapanuli dari tahun 1878 sampai tahun 1907.
|
Kerajaan batak terletak di wilayah tapanuli dengan pusat pemerintahannya di Bakkara, sebelah barat daya danau Toba. Sebab-sebab terjadinya Perang batak atau Perang Tapanuli antara lain sebagai berikut :
- Raja Sisingamangaraja XII menentang dan menolak dimana daerah kekuasaanya seperti kota Natal, Mandailing, Angkola, Sipirok di Tapanuli Selatan dikuasai Belanda.
- Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica ( Menguasai seluruh Hindia Belanda ).
Tindak lanjut untuk mewujudkan Pax Netherlandica, Belanda menguasai Tapanuli Utara sebagai lanjutan pendudukannya atas Tapanuli Selatan dan Sumatera Timur. Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung dengan dalih melindungi para penyebar agama kristen.
Sasaran uatama serangan Belanda adalah menguasai pusat kekuasaan Sisingamangaraja XII, yaitu Bakkara. Pada tahun 1894, dengan mengerahkan kekuatan begitu banyak, Belanda menyerbu Bakkara. Pertempuran sengit terjadi di daerah Pakpak Dairi, sebelah barat Danau Toba. Lambat laun, ruang gerak Sisingamangaraja XII semakin sempit, apalagi setelah pasukan belanda yang dipimpin Van Daalen bergerak ke Tapanuli Utara ( 1904 ).
Pasukan andalan Belanda yaitu pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Christoffle berhasil memukul pasukan Sisingamangaraja XII dan menyandera keluarganya. Sementara itu, Sisingamangaraja XII dapat meloloskan diri ke daerah hutan Simsim dengan dikuti pasukan dan keluarga yang tersisa.
Tawaran Belanda agar menyerah oleh Sisingamangaraja XII tidak ditanggapi. Belanda akhirnya melakukan penangkapan dengan kekerasan, pertempuranpun terjadi yang menyebabkan Sisingamangaraja XII gugur sebagai kusuma bangsa.
Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907 bersama seorang putrinya yang bernama Lapian dan dua orang putranya yang bernama Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta sepuluh pengikutnya. Jenasah Sisingamangaraja XII di bawa ke Tarutung dan dimakamlan di depan tangsi militer Belanda. Baru pada tahun 1953, jenasah dipindahkan ke Soposurung di Balige.
2. Perlawanan Rakyat
Menjelang tahun 1900, golongan feodal yaitu raja dan bangsawan sudah tidak berdaya lagi atas daerahnya. Sepenuhnya dikuasai dan tunduk kepada pemerintah Belanda. Walaupun demikian, tiap-tiap daerah selalu terjadi huru-hara perlawanan rakyat yang bersifat local. Perlawanan rakyat ini pada umumnya bertujuan untuk menentang pemungutan pajak yang berat serta menentang bentuk penindasan lainnya. Sebagai contoh adalah peristiwa pemberontakan Petani Banten yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888 atau dikenal juga dengan perang wasid.
Pusat peristiwa berdarah Perang Wasid ini terjadi di Cilegon, dimana tinggal sekelompok pejabat pangreh praja, baik Belanda maupun pribumi. Yang menjadi sasaran pemberontak adalah asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, ajun kolektir kepala gudang garam dan lain-lain.
Sebab meletusnya pemberontakan adalah sikap protes atau penolakan terhadap segala macam modernisasi, system birokrasi, keuangan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain yang dianggap menyalahi tradisi. Telah berkali-kali rakyat melakukan protes terhadap penarikan pajak terutama pajak kepala dan pajak pasar.
Melalui kelembagaan seperti tarekat dan pesantren, para kyai dengan mudah menghimpun murid dan pengikut untuk melancarkan gerakan. Basis gerakan terutama di daerah Anyer, Cilegon dan Kramat Watu. Di tiga daerah itu terdapat lebih kurang 164 orang guru pesantren dan 3600 murid. Idiologi perjuangan mereka dalam melakukan perlawanan adalah perang sabil melawan pemerintah kaum kafir.
Sebelum dini hari rombongan dari berbagai penjuru berkumpul di pasar Jombang. Rombongan dari Utara sekitar 600 orang dipimpin oleh H. Wasid. Rombongan yang dipimpin KH. Tubagus Ismail, KH. Usman dan KH. Ishak mencapai 1100 orang. Strategi penyerangan dari 1.700 orang dipencar dalam satuan-satuan tugas menyerang rumah pejabat asisten residen, patih, wedana, ajun koletir dan rumah penjara untuk membebaskan tawanan.
Pada waktu tengah malam, hari Senin tanggal 9 Juli 1888, bergerak rombongan sekitar 100 orang dari arah Saneja masuk kota bagian timur. Kesemunya berpakaian serba putih dan bersenjatakan golok, kelewang dan tombak. Rumah Dumas, seorang juru tulis menjadi sasaran pertama serangan. Kemudian berturut-turut rumah ajung kolektir, jaksa, wedana, kepatihan, asisten residen dan kepala gudang garam.
Di tempat ajun kolektir ada perlawanan gigih oleh Kartadiningrat, seorang putra pak Ajung yang akhirnya menemui ajalnya karena tak berdaya melawan rakyat banyak. Nasib serupa menimpa Bachet yang dengan paniknya menembakkan senapan beberapa kali, namun akhirnya diringkus oleh penyerang-penyerangnya. Korbanpun berjatuhan, baik laki-laki maupun perempuan, orang dewasa dan anak-anak, bangsa Belanda dan kaum pribumi, baik pejabat maupun keluarganya. Di pihak pemberontak pada akhir perlawanan seluruh korban berjumlah 30 orang termasuk pemimpinnya, H. Wasid, H. Usman dan H. Iskhak. Pemberontak yang tertangkap dan dijatuhi hukuman pengasingan ke luar Jawa sebanyak 94 orang.
Peristiwa senada yang mengawali sebelum pecah peristiwa Cilegon 1888 adalah Peristiwa Ciomas yang terjadi tahun 1886. Sebab utamanya adalah pemerasan dari tuan tanah terhadap tenaga para petani . Mereka tidak hanya wajib menanam kopi tetapi juga untuk mengerjakan bermacam-macam pelayanan. Hal ini membuat munculnya gejolak sebagai ujud protes terhadap kesewenang-wenangan.
Sedangkan kasus Gedangan yang terjadi tahun 1904 adalah contoh konflik antara petani pemilik dan penggarap sawah dengan pengusaha perkebunan tebu. Untuk keperluan penanaman tebu, padi yang tumbuh dengan suburnya diperintahkan untuk dicabut. Perubahan status tanah yang mengancam sumber penghidupan, membangkitkan kemarahan para petani.