Breaking News

Sabtu, 23 Januari 2016

Perang Tapanuli

Perang Tapanuli   ( 1878 – 1907 ).
Peta pulau sumatera
Pada tahun 1878 Belanda mulai dengan gerakan 
militernya menyerang daerah Tapanuli,sehingga meletus perang Tapanuli dari tahun 1878 sampai tahun 1907. 
Kerajaan batak terletak di wilayah tapanuli dengan pusat pemerintahannya di Bakkara, sebelah barat daya danau Toba. Sebab-sebab terjadinya Perang batak atau Perang Tapanuli antara lain sebagai berikut   :
  1. Raja Sisingamangaraja XII menentang dan menolak dimana daerah kekuasaanya seperti kota Natal, Mandailing, Angkola, Sipirok di Tapanuli Selatan dikuasai Belanda.
  2. Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica ( Menguasai seluruh Hindia Belanda ).
 Tindak lanjut untuk mewujudkan Pax Netherlandica, Belanda menguasai Tapanuli Utara sebagai lanjutan pendudukannya atas Tapanuli Selatan dan Sumatera Timur. Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung dengan dalih melindungi para penyebar agama kristen.
            Menghadapi perluasan wilayah pendudukan yang dilakukan oleh Belanda, pada tahun 1878, Sisingamangaraja XII, menyerang kedudukan Belanda di daerah Tapanuli Utara dengan kekuatan 700 orang. Pertempuranpun merebak sampai ke daerah Buntar, Bahal Batu, Balige, Siborong-Borong, Lumban Julu dan Laguboti. Dengan gigih rakyat setempat berjuang saling bahu-membahu berlangsung sampai sekitar 7 tahun, walau akhirnya kewalahan menghadapi kekuatan Belanda.
            Sasaran uatama serangan Belanda adalah menguasai pusat kekuasaan Sisingamangaraja XII, yaitu Bakkara. Pada tahun 1894, dengan mengerahkan kekuatan begitu banyak, Belanda menyerbu Bakkara. Pertempuran sengit terjadi di daerah Pakpak Dairi, sebelah barat Danau Toba. Lambat laun, ruang gerak Sisingamangaraja XII semakin sempit, apalagi setelah pasukan belanda yang dipimpin Van Daalen bergerak ke Tapanuli Utara ( 1904 ).
       Pasukan andalan Belanda yaitu pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Christoffle berhasil memukul pasukan Sisingamangaraja  XII dan menyandera keluarganya. Sementara itu, Sisingamangaraja XII dapat meloloskan diri ke daerah hutan Simsim dengan dikuti pasukan dan keluarga yang tersisa.

 Tawaran Belanda agar menyerah oleh Sisingamangaraja XII tidak ditanggapi. Belanda akhirnya melakukan penangkapan dengan kekerasan, pertempuranpun terjadi yang menyebabkan Sisingamangaraja XII gugur sebagai kusuma bangsa.
Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907 bersama seorang putrinya yang bernama Lapian dan dua orang putranya yang bernama Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta sepuluh pengikutnya. Jenasah Sisingamangaraja XII di bawa ke Tarutung dan dimakamlan di depan tangsi militer Belanda. Baru pada tahun 1953, jenasah dipindahkan ke Soposurung di Balige.
2. Perlawanan Rakyat
         
 Menjelang tahun 1900, golongan feodal yaitu raja dan bangsawan sudah tidak berdaya lagi atas daerahnya. Sepenuhnya dikuasai dan tunduk kepada pemerintah Belanda. Walaupun demikian, tiap-tiap daerah selalu terjadi huru-hara perlawanan rakyat yang bersifat local. Perlawanan rakyat ini pada umumnya bertujuan untuk menentang pemungutan pajak yang berat serta menentang bentuk penindasan lainnya. Sebagai contoh adalah peristiwa pemberontakan Petani Banten yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888 atau dikenal juga dengan perang wasid.

Pusat peristiwa berdarah Perang Wasid ini terjadi di Cilegon, dimana tinggal sekelompok pejabat pangreh praja, baik Belanda maupun pribumi. Yang menjadi sasaran pemberontak adalah asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, ajun kolektir kepala gudang garam dan lain-lain.

            Sebab meletusnya pemberontakan adalah sikap protes atau penolakan terhadap segala macam modernisasi, system birokrasi, keuangan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain yang dianggap menyalahi tradisi. Telah berkali-kali rakyat melakukan protes terhadap penarikan pajak terutama pajak kepala dan pajak pasar.
           Melalui kelembagaan seperti tarekat dan pesantren, para kyai dengan mudah menghimpun murid dan pengikut untuk melancarkan gerakan. Basis gerakan terutama di daerah Anyer, Cilegon dan Kramat Watu. Di tiga daerah itu terdapat lebih kurang 164 orang guru pesantren dan 3600 murid. Idiologi perjuangan mereka dalam melakukan perlawanan adalah perang sabil melawan pemerintah kaum kafir.

Sebelum dini hari rombongan dari berbagai penjuru berkumpul di pasar Jombang. Rombongan dari Utara sekitar 600 orang dipimpin oleh H. Wasid. Rombongan yang dipimpin KH. Tubagus Ismail, KH. Usman dan KH. Ishak mencapai 1100 orang. Strategi penyerangan dari 1.700 orang dipencar dalam satuan-satuan tugas menyerang rumah pejabat asisten residen, patih, wedana, ajun koletir dan rumah penjara untuk membebaskan tawanan.

Pada waktu tengah malam, hari Senin tanggal 9 Juli 1888, bergerak rombongan sekitar 100 orang dari arah Saneja masuk kota bagian timur. Kesemunya berpakaian serba putih dan bersenjatakan golok, kelewang dan tombak. Rumah Dumas, seorang juru tulis menjadi sasaran pertama serangan. Kemudian berturut-turut rumah ajung kolektir, jaksa, wedana, kepatihan, asisten residen dan kepala gudang garam.
            Di tempat ajun kolektir ada perlawanan gigih oleh Kartadiningrat, seorang putra pak Ajung yang akhirnya menemui ajalnya karena tak berdaya melawan rakyat banyak. Nasib serupa menimpa Bachet yang dengan paniknya menembakkan senapan beberapa kali, namun akhirnya diringkus oleh penyerang-penyerangnya. Korbanpun berjatuhan, baik laki-laki maupun perempuan, orang dewasa dan anak-anak, bangsa Belanda dan kaum pribumi, baik pejabat maupun keluarganya. Di pihak pemberontak pada akhir perlawanan seluruh korban berjumlah 30 orang termasuk pemimpinnya, H. Wasid, H. Usman dan H. Iskhak. Pemberontak yang tertangkap dan dijatuhi hukuman pengasingan ke luar Jawa sebanyak 94 orang.
            Peristiwa senada yang mengawali sebelum pecah peristiwa Cilegon 1888 adalah Peristiwa Ciomas yang terjadi tahun 1886. Sebab utamanya adalah pemerasan dari tuan tanah terhadap tenaga para petani . Mereka tidak hanya wajib menanam kopi tetapi juga untuk mengerjakan bermacam-macam pelayanan. Hal ini membuat munculnya gejolak sebagai ujud protes terhadap kesewenang-wenangan.
            Sedangkan kasus Gedangan yang terjadi tahun 1904 adalah contoh konflik antara petani pemilik dan penggarap sawah dengan pengusaha perkebunan tebu. Untuk keperluan penanaman tebu, padi yang tumbuh dengan suburnya diperintahkan untuk dicabut. Perubahan status tanah yang mengancam sumber penghidupan, membangkitkan kemarahan para petani.
Read more ...

Perang Aceh

Perang Aceh Pelanggaran Traktat London yang ditandatangani pada tahun 1824 oleh Belanda mengakibatkan perang Aceh terjadi. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara tersebut. Namun pada tahun 1863, kesultanan Aceh tidak lagi diakui oleh Belanda sebab Sultan Deli mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda dengan memperbolehkan Belanda membuka perkebunan tembakau besar-besaran di Deli. Keuntungan yang besar, pembukaan terusan Suez, posisi strategis Aceh dan ketamakan Belanda dan Inggris membuat Aceh sebagai wilayah kolonialnya membuat Aceh waspada. Pada akhir Nopember 1871 lahirlah apa yang disebut Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana pun di Sumatera. Pembatasanpembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan” (Djaelani 1999).

Ilustrasi Perang di Aceh

Aceh pernah mendapatkan peringatan dari Multatuli pada tahun 1872 namun tidak dihiraukan oleh Sultan Aceh, sementara Belanda terus menghimpun kekuatan untuk menyerbu Aceh. Keinginan Gubernur Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873 akan mengirimkan Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada Negara begitu buruk, sehingga baru pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar. Walaupun demikian Aceh telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan pasukan Belanda, dengan jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai yang diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh. Pada tanggal 19 Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada dilepas pantai Aceh. Dari kapal 'Citadel van Antwerpen' melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: " .....Kemudian daripada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh, agar hendaknya negeri kami jangan dihancurkan"

Ekspedisi pertama Belanda dengan 3193 prajurit dipimpin oleh Jenderal Kohler. Setelah beberapa lama terjadi tembak menembak di daerah pantai, pasukan Aceh mengundurkan diri dan berkubu di sekitar Mesjid Raya. Belanda langsung menyerbu Mesjid Raya dengan tembakan-tembakan meriam, sehingga mesjid itu terbakar. Pasukan Aceh mundur dan Mesjid Raya diduduki Belanda. Namun pasukan Aceh berhasil menembak Jenderal Kohler sehingga tewas, sehingga pimpinan tentara Belanda diambil alih oleh Kolonel van Dalen dan menarik diri dari Mesjid Raya (Johan 2014). Pasukan Aceh melakukan konsolidasi di sekitar istana Sultan Mahmudsyah. Pasukan-pasukan itu terus digerakkan untuk melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda. Dengan demikian usaha Belanda untuk menundukkan Aceh dengan serangan terbuka mengalami kegagalan, sehingga Belanda memilih memblokade Aceh. Ketika itu muncullah tokoh-tokoh pemimpin seperti Panglima Polem, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, dan istrinya Cut Nya’ Din, dan masih banyak pemimpin Aceh lainnya yang memimpin perlawanan di daerahnya masing-masing. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh, pemerintah Belanda memisahkan daerah Aceh sebelah utara dari Aceh sebelah selatan, sedangkan pantai laut dijaga oleh angkatan laut Belanda. Siasat ini disebut konsentrasistelsel, yaitu daerah yang dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan senjata dan kembali ke daerah yang aman dan makmur itu. Dalam perkembangannya, siasat tersebut gagal, sebab pagar kawat berduri sebagai daerah pembatas tersebut sering dirusak kaum gerilya dan penjaganya mati terbunuh. Sementara itu Teuku Umar yang sudah menyerah kepada Belanda (1893) pada tahun 1896 kembali melawan Belanda setelah berhasil membawa banyak senjata Belanda. Dalam kondisi sulit ini muncullah seorang ahli bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam Dr. Snouk Hurgronye sebagai penasehat dalam urusan pemerintahan sipil. Ia mempelajari bahasa, adad istiadat, kepercayaan dan waktu orang-orang Aceh. Dari hasil penelitiannya akhirnya dapat diketahui bahwa sebenarnya Sultan Aceh itu tidak mempunyai kekuatan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang ada di bawahnya. Selain itu juga dijelaskan bahwa pengaruh kaum ulama pada rakyat adalah sangat besar. Karena itu dirasa sulit untuk menundukkan rakyat yang berkeyakinan agama yang kuat sepeti rakyat Aceh itu.

Dengan hilangnya pemimpin-pemimpin yang tangguh itu, maka perlawanan rakyat Aceh makin kendor, dan di lain pihak Belanda dapat memperkuat kekuasaannya di daerah itu. Sekalipun demikian perlawanan rakyat Aceh boleh dikatakanmerupakan perlawanan yang paling lama dan yang paling besar selama abad ke-19. Dalam rangka untuk memastikan kemerosotan perlawanan Aceh, pada tahun 1904 Jenderal van Daalen melakukan ekspedisi lintas pedalaman, khususnya antara Gayo dan Alas. Dalam ekspedisi tersebut pasukannya memang tidak mendapatkan perlawanan suatu apa sehingga pada tahun 1904 itu pula perlawanan Aceh dinyatakan berakhir. Namun perlawanan masih berlangsung terus, secara perseorangan maupun dalam kelompok; hanya semakin lama semakin terpencil sifatnya.
Read more ...

Perang Banjar

Perang Banjar - adalah merupakan satu cetusan di dalam rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia. Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir bersamaan kasusnya di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di Minangkabau dengan perang Padrinya, di Jawa dengan perang Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan sebagainya.


Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia dengan berbagai dalih yang dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya.

Pertentangan pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.

Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan. Kekejaman ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis, Belanda dan Inggris.

Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin.

Pangeran Nata Dilaga yang Menjadi raja pertama dinasti Tamjidillah dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772.

Anak Sultan Muhammad (almarhum) yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Tahmidillah melarikan diri ke Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe. Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kerajaan Banjar dengan pasukan Bugis yang besar, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sailan. Sesudah itu diadakan perjanjian antara kerajaan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC.

Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat Kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar

Negeri hilang sama sekali, Kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
a.) Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
b.) Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
- Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
- Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Pantuil,
- Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
- Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah,
- Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak,
- Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan,
- Tanah Dayak Besar Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya,
- Tanah Mandawai,
- Sampit,
- Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya,
- Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
- Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan,
- Negeri-negeri di pesisir timur Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
c.) Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
d.) Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
e.) Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka,
- Padang Bajingah,
- Padang Penggantihan,
- Padang Munggu Basung,
- Padang Taluk Batangang,
- Padang Atirak,
- Padang Pacakan,
- Padang Simupuran,
- Padang Ujung Karangan.


f.) Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Read more ...

Perang Bali

Perang Bali Hubungan Bali dan Belanda berawal dari banyaknya kapal dagang Belanda terdampar di salah satu pantai kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh raja. Walaupun Belanda berulangkali mengajukan proters dan mengadakan perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda, namun raja-raja di Bali tidak mengindahkan, karena hal tersebut merupakan hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Bali di daerah pantai yang dinamakan hukum tawan karang sekitar tahun 1841 di pantai wilayah Badung. Belanda juga melakukan perdagangan (terutama perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali. Poesponegoro (2010) menyebutkan pada tahun 1843 raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa raja lainnya telah menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang, ternyata mereka tidak pernah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh (Johan 2014).

Ilustrai perang yang terjadi di Bali
Pada tahun 1846, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng dan berkobarlah perang Kerajaan Buleleng yang dibantu oleh Karangasem melawan Belanda. Sebetulnya penyerangan yang pertama sudah dilakukan oleh Belanda pada tahun 1836 tetapi gagal dan dilakukalah perundingan sebagai taktik untuk menyerbu kembali. Bali di bawah kepemimpinan Gusti Jelantik membangun benteng di Jagakarsa untuk menghalau serangan Belanda. Tahun 1849 Belanda kembali menyerang Benteng Jagakarsa, karena kalah dalam persenjataan, maka pasukan Bali mundur dan benteng dikuasai oleh Belanda. Perlawanan Gusti Jelantik baru mengendor pada akhir abad ke 19 setelah sebagian kerajaan Bali dikuasai oleh Belanda.
Tahun 1904 kembali pecah perang Bali-Belanda setelah rakyat di kerajaan Badung merampas kapal dagang Cina yang terdampar34, Belanda berhasil merebut ibukota Denpasar. Akibatnya raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan habis-habisan dengan diikuti sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan keris keramat. Mereka memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kepada Belanda.
Read more ...

Perang Diponegoro


Perang Diponegoro Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo (Djaelani 1999). Diponegoro dalam memimpin perangnya senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya. Sebagai penasehat keagamaan Dipenogoro memilih Kiai Mojo seorang ulama terkenal dari Mojo Solo, selain penasehat, Kiai Mojo juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo.


Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin dipersempit. Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan. Raffles juga meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan keraton. Kondisi seperti itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidaksenangan di antara beberapa golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut. Tambahan lagi setelah kebiasaan minum-minuman keras beredar di kalangan kaum bangsawan atau rakyat umum, kekhawatiran dan kekecewaan di kalangan golongan agama di istana makin meningkat (Johan 2014).
Pengaruh Pangeran Diponegoro sebagai putera Sultan Hamegkubuwono III begitu besar, apalagi ketika menjadi wali Sultan HB V yang saat itu baru berusia 3 tahun membuat Belanda menyesal memilih beliau sebagai wali Sultan dan dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan Belanda sehingga pemerintahan diserahkan kepada Patih Danurejo dan di bawah kekuasaan residen. Kebijaksanaan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro adalah perbuatan residen dan patih yang selalu mengambil keputusan-keputusan dengan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi. Misalnya, mengangkat seorang penghulu itu adalah hak Sultan. Tetapi waktu penghulu Rachmanudin berhenti lantaran berbeda pendapat dengan patih, maka residen dan patih mengangkat penggantinya tidak dengan persetujuan para wali. Pangeran Diponegoro menganggap pengangkatan itu tidak sah. Sekali peristiwa Pangeran Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh dua orang pegawai Belanda, dalam pesta di rumah patih. Beliau terus meninggalkan perayaan tersebut, lalu mengasingkan diri di Tegalrejo (Johan 2014). Pada waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro menentangnya. Penentangan tersebut mengakibatkan pasukan Belanda mnyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada tanggal 25 Juli 1825 berkobarlah perlawanan Dipenogoro. Setelah pertempuran di Tegalrejo ini, Diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar 15 km sebelah barat daya kota Yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya. Keluarga Pangeran Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) . Kabar mengenai meletusnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke berbagai daerah. Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang segera datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro. Daerah-daerah lain juga menyambut perlawanan Diponegoro dengan melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro. Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan. Pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera menghentikan perlawanan dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan Culturstelsel. Di samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika Diponegoro sampai lepas kembali. Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15.000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali.
Read more ...

Perang Padri

Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol
Perang Padri - Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi sesungguhnya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum 'Muwahhidin' yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam (Djaelani 1999). Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya. Awal mula Perang Padri disebabkan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat. Kebiasaan buruk tersebut antara lain : judi, sabung ayam, madat, minuman keras, tembakau, sirih dan juga aspek hukum adat mengenai warisan serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut, memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803 hingga tahun 1833. Perang tersebut dapat disebut sebagai perang saudara. Dalam peperangan, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun pada kenyataannya keterlibatan Belanda justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833, Kaum Adat berbalik bergabung bersama Kaum Padri dan melawan Belanda.
Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Karena itu, pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barat harus dikurangi untuk dikerahkan ke Jawa. Karena kondisi tersebut Belanda menggunakan taktik berdamai dengan pihak Padri. Perdamaian itu diadakan pada tahun 1825 (Johan 2014). Pada saat terjadi gencatan senjata tersebut, ternyata Belanda melakukan tekanan-tekanan kepada penduduk setempat, sehingga akhirnya meletuslah perlawanan kembali dari pihak kaum Padri diikuti oleh rakyat setempat. Perlawanan segera menjalar kembali ke berbagai tempat. Tuanku Imam Bonjol mendapat dukungan Tuanku nan Gapuk, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku Hitam, sehingga mulai tahun 1826 volume pertempuran semakin meningkat. Salah satu markas kaum Padri yang berada di Tanjung Alam diserang oleh pasukan Belanda (1833) . Akibat pertempuran tersebut, pasukan Padri melemah karena beberapa pemimpin Padri menyerah, misalnya Tuanku nan Cerdik. Sejak itu perlawanan-perlawan terhadap Belanda dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.

Ilustrasi pertempuran sengit antara pasukan padri melawan belanda
dibukit selatan bonjol.

Untuk mempercepat penyelesaian Perang Padri, Gubernur Jenderal van den Bosch datang ke Sumatera Barat untuk menyaksikan sendiri keadaan di medan pertempuran. Ia mengeluarkan pernyataan gubernemen yang terkenal dengan nama Pelakat Panjang. Pernyataan itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka yang memihak Belanda. Dalam kondisi terjepit, pihak Belanda mengajak Imam Bonjol untuk berunding. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di Benteng Bonjol, sementara mengharapkan Imam Bonjol mau menyerahkan diri. Perundingan gagal karena pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Jenderal Michiels memimpin sendiri pengepungan kota Bonjol. Dengan susah payah Kaum Padri menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih kuat. Pada akhirnya benteng Kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa-sisa pasukannya tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837. Imam Bonjol lalu dibuang ke Cianjur, lalu dipindah ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa.
Read more ...
Designed By Adhiyaksa